Kamis, 11 September 2008

Menemukan Sosok Supriyadi dalam Secangkir Kopi...


No one can understand the truth until he drinks of coffee’s frothy goodness’

(Sheikh Abd el-Kadir)


Oleh : Uji saptono


Kehadiran Eyang Endaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai sosok Supriyadi cukup mengundang respon yang beragam di masyarakat kita; ada yang sinis, antusias, datar-datar saja, bahkan dengan berbagai pisau analisa ilmiah sosio antropologis pun menjadi ‘discourse’ tentang sosok epik Supriyadi yang serba misterius ini. Sampai sekarang.Tulisan ini mencoba untuk sedikit keluar dari ‘kotak’ discourse arus utama, dengan mengacu pada beberapa factor analisis seperti kondisi psikologis bangsa Indonesia yang sangat membutuhkan public figure yang benar-benar bersih, dan (adanya) keinginan kolektif yang ‘begitu kuat’ dan ‘memberi harapan’ untuk secara bersama-sama membangun character building dari bangsa yang sedang dalam proses ‘belajar bangkit’ dari keterpurukan dan kembali lagi mencari mimpi bersama yang lebih beradab dan actual.Tidak bisa dipungkiri bahwa, salah satu kerugian modal sosial budaya kita adalah ‘hilangnya’ beberapa kata bijak seperti kepahlawanan, kejujuran, loyalitas, harga diri, altruisme dll.. Disebut ‘hilang’ karena beberapa kata tersebut dianggap ‘aneh’ untuk konteks masyarakat Indonesia kini. Menurut Wenas (2008), kondisi serba miskin perbendaharaan kata-kata bijak dan mulia ini sebenarnya sudah menjurus (dan merefleksikan) kepada ciri-ciri masyarakat yang koruptif par excellent. Legacy (nama baik, reputasi) dan noblesse-oblige (tanggung jawab moral/agung) sudah menjadi kata-kata sangat jarang ditemukan pada mimbar-mimbar agung bisnis, ekonomi, hukum, sosial, apalagi politik. Bayangkan; hampir setiap hari bisa kita lihat dan cermati bersama betapa berita mengenai korupsi (yang sudah melembaga sebagai sistem rente ekonomi baru yang bekerja seperti mafia), kejahatan horizontal, aksi anarkis & kebencian karena perbedaan keyakinan (dan agama) dll selalu memborbardir memori otak kita. Rekontruksi seperti apa yang harus kita lakukan pada konteks masyarakat seperti ini?Sumber nilai (core value) dalam gatra kehidupan masyarakat kita memang sudah mengalami erosi cukup lama karena begitu dominannya gatra-gatra pada ranah materi yang notabene secara kuantitatif bisa diukur secara angka-angka. Gatra yang sebenarnya tidak terbatas zonanya seperti agama atau keyakinan dan budaya justru tidak/kurang mendapat tempat dalam discourse para elit. Munawar (1999) bahkan menyebutkan bahwa nilai-nilai agama dan budaya ini seharusnya merupakan suatu sinyal kendali dalam mewujudkan kehidupan sosial, politik dan ekonomi.Melalui analisis sistem kendali nilai ini, perilaku setiap individu sebenarnya merupakan manifestasi dari sistem kerja ‘dialektika’ antara gatra yang lebih tinggi levelnya (sebagai acuan atau sinyal kendali) dengan gatra yang lebih rendah. Proses ‘dialektika’ antar gatra ini kemudian menghasilkan ‘out put’ aksi atau tindakan yang biasanya selalu diiringi dengan atribut-atribut legitimasi pada konteks waktu dan ruang. Apa yang terjadi jika kemudian, gatra pada level yang ‘sebenarnya’ sebagai sinyal kendali itu tidak berkembang ‘cukup kaya’ (?), hal mana kemudian ketika kita butuh rujukan/acuan nilai justru umpan baliknya tidak relevan lagi? Proses ‘dialektika gatra’ inilah yang menurut penulis menjadi pemicu kenapa kita begitu gagap ketika harus merespon kontrak sosial dengan komunitas yang berbeda (esp secara ideologi, agama , keyakinan dll), kegagapan juga dalam menafsirkan persoalan-persoalan postmodern, kegagapan dalam menghadapi benturan dan ‘ancaman’ vis a vis neo kapitalisme global, kegagapan dalam menghadapi konflik internal pribadi kita, bahkan kita gagap dan bingung untuk meneruskan cita-cita reformasi pasca 1998!!Tuntutan untuk terus memperkaya sumber nilai kolektif atau sinyal kendali nilai ini sudah harus kita perkuat melalui kanal-kanal perubahan sosial dengan berbagai cara yang elegan dan ‘pas branding’-nya. Pendekatan sosial budaya melalui mimbar-mimbar budaya-agama dan edukasi keluarga kendati kurang dari sisi kekuatan struktural dan ‘cenderung normatif’; paling tidak bisa menjadi alternatif untuk menata unit terkecil dari sistem nilai kolektif kita dan bahkan mungkin mampu menjadi ‘filter pertama’ yang ampuh untuk menegaskan bahwa ‘nilai-nilai pasar’ seperti kerakusan, keegoan, kesombongan, kejahilan, mengambil yang bukan haknya itu sebenarnya sudah tidak kontekstual lagi. Hari gini masih korupsi (??), demikianlah kira-kira….Begitupun dengan Eyang Endaryoko Wisnuprabu…dia sebenarnya berhak untuk mengaku sebagai Supriyadi dalam sosok ‘ideal Supriyadi’, yang kita semua tahu; di sana ada heroisme, keberanian, dan spirit anti penindasan! Secara ragawi (mungkin;paling tidak menurut banyak ahli sosio antropologis) dia tidak incharge dalam revolusi fisik yang melibatkan Supriyadi (ketika itu), namun secara spirit kenapa tidak mungkin? Bisa jadi eksistensi spirit (roh, soul) Eyang Endaryoko Wisnuprabu sudah ‘mengejawantah’ dalam pergolakan revolusi (ketika itu). Dengan demikian, pangkal persoalan mengenai sosok Supriyadi adalah bukan pada sosok fisiknya semata namun lebih kepada ‘sosok ideal Supriyadi’. Ini menyangkut deskripsi ‘taste’ dan ‘aroma’ mungkin ‘tekstur’ kita (saja ) mengenai arti kepahlawanan pada alam sosial yang sudah cukup koruptif par excellent. Ibaratnya adalah seperti kita meminum secangkir kopi. Taste. Aroma. Body/Tekstur. Acidity. Dan lain-lain. Hanyalah bisa dirasa dan benar-benar ada proses persenyawaan di situ jika kopi yang kita minum itu benar-benar kopi tulen. Asli. Bisa jadi blended tapi tetap pada track keaslian kopi…Jadi untuk menemukan ‘sosok ideal Supriyadi’ memang membutuhkan persepsi tentang ‘taste, aroma, dan tekstur’ yang benar-benar mampu mencerminkan kompleksitas dan kedalaman dari sistem nilai kolektif kita…dan ternyata kopi itu identik dengan kompleksitas sendiri. Dia bisa menggambarkan, sekaligus bisa mengurai kompleksitas dan kedalaman makna ke dalam ‘bahasa’ kesederhanaan yang bisa dirasa oleh setiap orang tanpa memandang agama, ras, bangsa, gender dan suku sekalipun. Untuk Anda yang masih belum percaya dengan ‘sosok ideal Supriyadi’ dalam diri Eyang Endaryoko Wisnuprabu … “kapan lagi untuk tidak menunda-nunda minum kopi?” sekali lagi, siapa tahu di sana makna kesejatian mengenai arti kepahlawanan bisa dirasakan….(note : sumber foto dari : www.foto-foto.com)

Tidak ada komentar: