Kamis, 27 November 2008

Cupping sebagai Acara Ritual Kami.....


Oleh : Uji Saptono


Cupping atau kegiatan panel kopi merupakan ‘ritual’ dalam dunia perkopian, terutama terkait dengan pengendalian mutu kopi pada umumnya. Menurut SCAA (Specialty Coffee Association of America), cupping didefinisikan aktivitas evaluasi sensorik yang tersistematis menyangkut atribut mutu aroma dan rasa biji kopi. Seringkali dalam tata laksananya melibatkan para ahli yang terdiri dari pembeli, penanam kopi, roaster; dalam istilah organoleptik mereka disebut sebagai panelis. Spesial untuk menguji kopi biasanya mereka termasuk kategori panelis sangat ahli yang ‘patent’ dalam melakukan tahap demi tahap cupping mulai dari persiapan sample sesuai standar brewing sampai detail evaluasi sensoriknya.
Dalam prakteknya, panelis ahli/madya bisa dilatih dan ‘dibentuk’ yang mana secara umum biasanya dalam evaluasi sensoriknya mencakup beberapa karakteristik mutu seperti :

1. Fragrance (keharuman biji kopi setelah digiling)
2. Aroma (keharuman bubuk kopi setelah disedu dengan air)
3. Taste (flavor/rasa kopi)
4. Nose (sensasi kompleks yang bisa dihirup ketika seduhan kopi masih berada dalam
mulut/lidah)
5. Aftertaste (sensasi rasa dan aroma yang tertinggal/masih bisa dirasakan setelah kita
meminum kopi)
6. Body (tingkat rasa kekentalan kopi yang mampu diecap oleh mulut/lidah)
Tanggal 19 November 2008, ‘para villagerian’ melakukan aktivitas cupping untuk beberapa tipe kopi yang berasal dari Linthong, Aceh Takengon, Bali Batur, Bali Peaberry, dan Mandhailing. Deskripsi dari para penelis bisa dipaparkan sebagai berikut :
Linthong : woody (aroma kayu bakar) & floral flavors, full-medium body, smooth aftertaste
Aceh Takengon : freshly aromatic, full body, caramel & fuity flavors
Bali Batur : full body, nutty & woody flavors
Bali Peaberry : freshly aromatic (aroma segar), full body, fruity and chocolate flavors, well rounded
Mandhailing : highly aromatic, full body, woody mirip smooky flavors, smooth aftertaste

Sebagaimana layaknya aktivitas evaluasi sensorik, kendati dia memiliki semacam ‘pakem’ atau panduan baku - tetap saja unsur subyektifitasnya sangat mewarnai hasil evaluasi sensorik tiap panelis. Itu semua tergantung dari jenis kopi, tipe roasting, tingkat kehalusan bubuk kopi, model/gaya brewing, kualitas air seduhan, suasana/nuansa dan faktor lainnya yang bersifat psikologis dari si panelis sendiri.

Dunia perkopian mengenal cara baku untuk evaluasi sensorik (cupping) ini seperti versi SCAA yang banyak dianut sebagai madzab cupping. Apakah ada madzab lain? Atau apakah madzab utama ini ‘boleh ditafsirkan kembali’ sesuai dengan ‘konteksnya’? Memang serba ‘berresiko’ jika harus bersinggungan dengan mainstream, karena toh jika metode atau system tatacara evalusi sensorik ‘baru’ suatu saat ditemukan sesuai dengan ‘konteks’ maka sudah pasti labelisasi sebagai yang ‘sesat’ kemungkinan akan diterima kepada si innovator.
Cupping untuk beberapa kopi Indonesia memang luarbiasa beragam deskripsinya. Keragaman deskripsinya ini seperti menggambarkan betapa limpahan karunia Sang Khalik untuk negeri ini tidak pernah putus-putusnya. Pun demikian dengan kopi, bayangkan jika dari 1000 lebih jenis senyawa volatile bisa dihasilkan dari satu jenis kopi bagaimana tidak terbatasnya jenis sensorik yang bisa dideteksi oleh lidah manusia. Oleh karenanya, ritual cupping ini kami “redefinisikan” sebagai tidak hanya aktivitas evaluasi sensorik oleh panca indra kita namun juga evaluasi sensorik ‘passion’ yang memang benar-benar deskripsinya hampir tanpa batas. Ya aroma dan rasa kopi memang dunia yang hampir tanpa batas, suatu tanda dari yang menciptakannya. Tanda bagi kita sebagai ‘panelis kodrati’ untuk terus mencari reservoir-reservoir bagi yang namanya ‘kebenaran deskripsi sensorik sejatinya kopi’, karena pada hakekatnya ia juga tanpa batas. Kita sendiri yang terkadang membuat batas-batas itu, karena sudah ada pakem mainstream yang mencoba mendeskripsikan evaluasi sensorik kopi itu dalam blok-blok imajiner yang bisa dituangkan secara kualitatif dan kuantitatif.
Nah jika sudah sampai pada ‘hakekat deskripsi sensorik kopi ini’ maka kita bisa saja menarik simpulan bahwa sebenarnya deskripsi sensorik kopi bisa menghasilkan evaluasi yang ‘well rounded’ jika memenuhi syarat seperti : ia ditanam, dirawat, dipanen dan diproses pasca panen s/d siap saji - tidak ada lain kecuali dengan landasan ikhlas semata-mata untuk ‘menciptakan nilai lebih (baik, bermanfaat dll) bagi alam dan sesama’. Jadi memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejatinya terdapat gap ketika kita bicara ‘passion’ dalam konteks mainstream tatacara evaluasi sensorik kopi versi ‘barat’ (SCAA dll) dengan ‘versi’ komunitas GlobalVillage. Bagi Anda yang sudah bergabung dengan Komunitas GlobalVillage siap-siap saja dicap sebagai si sesat dalam hal mendeskripsikan evaluasi sensorik kopi karena di seberang sana ada mainstream…. Bagaimana?

Tidak ada komentar: